Dari Cipratan Malam, Lahir Harapan Difabel di Magetan


Magetan – Di sudut Desa Simbatan, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Magetan, sekelompok penyandang disabilitas membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk berkarya. Melalui cipratan malam panas di atas kain putih, lahirlah Batik Ciprat Langitan, batik unik bernilai seni tinggi yang kini mulai dikenal hingga tingkat nasional.

Di rumah produksi sederhana itu, para difabel intelektual dan tuna rungu mencipratkan malam tanpa pola tetap. Tidak ada motif yang sama, karena setiap lembar batik adalah ekspresi jiwa dan simbol kebebasan berkarya.

“Kami mulai dari lima orang tahun 2015, sekarang sudah puluhan. Banyak yang sudah bisa mandiri, bahkan beli motor dan handphone dari hasil membatik,” ujar Deni Mustika, pendamping dari program Sambung Roso.

Program Sambung Roso menjadi tonggak penting dalam pemberdayaan difabel di desa tersebut. Tak hanya memberikan pelatihan keterampilan membatik, namun juga membangun kepercayaan diri dan menjadikan mereka bagian aktif dalam kegiatan ekonomi dan sosial.

Batik Ciprat Langitan telah tampil dalam pameran ASEAN dan mulai dikenal di pasar nasional. Satu lembar batik dijual dengan harga Rp135.000 hingga Rp250.000, namun nilainya lebih dari sekadar angka—karena setiap motif menyimpan cerita perjuangan, harapan, dan keberanian.

“Ini bukan hanya kain batik. Ini adalah simbol kemandirian dari mereka yang selama ini dianggap terbatas,” kata Deni.

Kini, Batik Ciprat Langitan tak hanya menjadi produk lokal unggulan Magetan, tapi juga ikon inklusi dan inspirasi nasional, membuktikan bahwa dari sebuah desa kecil, karya besar dan berdampak luas bisa lahir—bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga dunia.

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *