Kupatan Asyuro di Desa Metesih, Tradisi Suro Penuh Makna dan Doa


KAB. MADIUN – Malam bulan Suro atau Muharam di Desa Metesih, Kecamatan Jiwan, Kabupaten Madiun, bukan sekadar pergantian tahun Hijriah. Bagi warga setempat, ini adalah momentum sakral yang menyatukan doa, rasa syukur, dan tradisi leluhur dalam prosesi Kirab Kupatan Asyuro.

Bertempat di halaman Pondok Pesantren Al Mukkaromah, ratusan warga berkumpul dalam suasana hening yang khusyuk. Obor bambu menyala di tangan para pemuda dari dua perguruan silat besar yang menjadi kebanggaan desa. Mereka mengangkat jodang—wadah kayu khas tradisi Jawa—untuk menjemput ketupat dari rumah-rumah warga di empat penjuru desa.

Prosesi kirab ini berjalan pelan, mencerminkan semangat spiritual dan harapan warga yang seolah dihantarkan ke langit. Sebanyak 1.500 ketupat berhasil dikumpulkan dan dibawa menuju panggung utama, tempat para tokoh agama memimpin doa dan sholawat bersama.

“Kupatan Asyuro ini bukan hanya ritual, tapi juga sebagai simbol untuk kembali ke fitrah sebagai manusia. Ini bentuk syukur kami atas keselamatan dan berkah selama setahun terakhir,” jelas Budi Santoso, Ketua Bazis Desa Metesih.

Usai doa, tradisi dilanjutkan dengan pembagian sayur lodeh dari jedi, yaitu wajan tembaga besar yang telah berisi sayur khas kupatan. Sayur tersebut dipindah ke dalam baskom dan dibagikan kepada seluruh warga. Tradisi makan bersama ini melambangkan kebersamaan dan keharmonisan antarwarga.

Tak hanya soal makanan, kupat atau ketupat juga dimaknai secara filosofis. Menurut Parni, Ketua Lembaga Adat Desa, kupat merupakan lambang “laku papat” atau empat nafsu dalam diri manusia: amarah, aluamah, supiyah, dan mutmainah. Tradisi ini mengajarkan masyarakat untuk mengendalikan diri dan menata hati menghadapi tahun baru Islam dengan jiwa yang bersih.

“Suro bukan waktu untuk hura-hura, tapi untuk tafakur dan syukur. Kirab kupat menjadi pengingat bahwa dalam perubahan zaman, nilai spiritual dan tradisi tetap menjadi tiang kehidupan,” ungkap Parni.

Kupatan Asyuro di Metesih menjadi bukti bahwa di tengah derasnya modernisasi, masyarakat masih menjaga akar tradisinya dengan teguh—menjadikannya bukan sekadar warisan budaya, tapi juga penopang spiritualitas masyarakat desa.

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *