Madiun, JTV – Di tengah gempuran budaya populer dan derasnya arus modernisasi, kesenian tradisional Dongkrek dari Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun, kini seolah tinggal gema. Dahulu menjadi simbol perlawanan terhadap wabah atau pagebluk, kini Dongkrek menghadapi “wabah” baru yang tak kasat mata—kelupaan dan keterasingan di negeri sendiri.
Dongkrek bukan sekadar hiburan rakyat. Ia lahir dari rasa takut, harapan, dan spiritualitas masyarakat dalam menghadapi musibah. Pertunjukan ini terdiri dari musik kentongan, topeng-topeng menyeramkan, dan tarian sakral, yang menyatu dalam makna filosofis mendalam. Bagi masyarakat Madiun tempo dulu, Dongkrek adalah media pengusir pagebluk, sekaligus doa kolektif demi keselamatan desa.
Namun kini, Dongkrek perlahan memudar. Minimnya minat generasi muda, ketiadaan pakem baku, serta perbedaan versi antara satu penggiat dengan yang lain, menjadi tantangan besar bagi eksistensinya.
“Dongkrek masih dibawakan sesuai versi masing-masing. Itu berisiko mengaburkan jati diri aslinya,” ujar Andika Agustino W, salah satu penggiat seni Dongkrek di Madiun.
Meski begitu, harapan belum sepenuhnya padam. Pemerintah Kabupaten Madiun mulai menggencarkan upaya pelestarian dengan mengembangkan sanggar-sanggar kesenian Dongkrek agar dapat dikemas lebih menarik tanpa menghilangkan nilai orisinalnya.
“Kami berupaya menyesuaikan Dongkrek agar lebih menarik bagi masyarakat luas, terutama generasi muda,” jelas Dian Wiyanti, Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata Disparpora Kabupaten Madiun.
Ia menegaskan, pelestarian Dongkrek membutuhkan sinergi dari berbagai pihak—pemerintah, seniman, hingga masyarakat umum. Tanpa dukungan bersama, Dongkrek bukan tak mungkin hanya akan jadi bagian dari sejarah yang terlupakan.