NGAWI – Petani di Kabupaten Ngawi mulai beralih ke sistem pertanian ramah lingkungan. Secara mandiri, mereka memproduksi pupuk organik cair berbahan dasar urine sapi yang difermentasi dan berbagai empon-empon. Upaya ini terbukti mampu menekan penggunaan pupuk kimia hingga 30 persen.
Kegiatan pembuatan pupuk organik tersebut dilakukan secara gotong royong oleh petani Desa Waruk Kalong, Kecamatan Kwadungan, Kabupaten Ngawi. Pupuk cair yang mereka hasilkan dikenal dengan nama Ferinsa (fermentasi urine sapi), yang diracik dari bahan alami seperti kunyit, jahe, kencur, laos, tetes tebu, susu murni, terasi, dan urine sapi.
Menurut Toha Maksum, Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) dari BPP Kwadungan, seluruh bahan tersebut dihaluskan dan dicampurkan dalam satu wadah. Setelah difilter, campuran difermentasi selama kurang lebih tiga minggu sebelum bisa digunakan.
“Penyemprotan dilakukan pada usia tanaman 14 hari, 28 hari, 42 hari, dan seterusnya tiap dua minggu. Dengan penggunaan Ferinsa, efisiensi penggunaan pupuk kimia bisa mencapai 30 persen,” jelas Toha Maksum.
Selain mengurangi ketergantungan terhadap pupuk kimia, penggunaan Ferinsa juga bertujuan meningkatkan kesuburan tanah dan kualitas tanaman melalui kandungan bahan organik. Hal ini menjadikan sistem ini sebagai bagian dari pertanian berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan.
Sementara itu, Kepala Desa Waruk Kalong, Djuwadi, menyatakan bahwa selama beberapa tahun terakhir, warganya secara bertahap mulai menerapkan sistem pertanian organik. Hasilnya mulai terlihat dari peningkatan hasil panen yang dirasakan langsung oleh para petani.
“Luas lahan pertanian di desa kami sekitar 300 hektare. Kini, sebagian besar petani mulai meninggalkan cara-cara lama dan beralih ke sistem ramah lingkungan,” kata Djuwadi.
Langkah ini menjadi contoh nyata bahwa inovasi lokal yang sederhana dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan dan ketahanan pangan, terutama di tengah meningkatnya kebutuhan terhadap praktik pertanian yang berkelanjutan.