Magetan – Di sudut trotoar kawasan Sirkuit Mario, Parang, Magetan, tampak seorang pria tua duduk tenang dengan sepasang sepatu di tangannya. Di bawah terik matahari dan hiruk-pikuk kendaraan yang lalu lalang, Pak Simbar menjalani hari-harinya sebagai tukang sol sepatu—sekaligus menambal hidupnya yang ia jalani seorang diri.
Namanya Simbar Maung Gadasuli, pria asal Ngawi yang kini menetap di Parang. Sudah lebih dari 30 tahun ia menekuni pekerjaan ini. Keahlian memperbaiki sepatu ia pelajari sejak duduk di bangku SMP dari saudara dan sesama tukang sol. Meski sempat menjajal berbagai pekerjaan lain, Pak Simbar selalu kembali ke lapaknya—karena seperti hidup yang tak selalu adil, tak semua tempat bisa memberi ruang bagi hidup sederhana di tengah zaman yang berubah cepat.
Dari lapak kecilnya, Pak Simbar tak hanya menjahit. Ia juga menyemir, mengganti sol, dan menyesuaikan perbaikan dengan jenis dan kebutuhan sepatu. Tarif jasanya tetap terjangkau: mulai dari Rp15.000 untuk tambalan ringan, hingga Rp125.000 untuk sepatu safety yang membutuhkan perbaikan ekstra.
Pelanggan Pak Simbar datang dari berbagai kalangan, mulai dari warga biasa hingga aparat seperti polisi dan tentara. Mereka percaya pada kejujuran dan ketelatenan tangan tuanya.
Setiap hari pukul 07.00 pagi, Pak Simbar sudah siap di lapak. Jika ramai, ia bisa bertahan hingga pukul 16.00 sore. Rata-rata ia mengerjakan empat pasang sepatu per hari. Rekor tertingginya? Empat belas pasang dalam satu hari.
Meski hidup sendiri dan jauh dari keluarga, tak sekali pun ia mengeluh. Dari balik benang, lem, dan ketekunannya, ia terus menjahit—tak hanya sepatu, tapi juga harapan.
Simbar Maung Gadasuli, bukan sekadar tukang sol sepatu. Ia adalah pelajaran kecil tentang hidup yang terus berjalan, meski hanya dengan satu langkah dan satu jahitan dalam satu waktu.