PONOROGO – Di tengah modernisasi yang semakin pesat, warga Desa Carangrejo, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo, masih menjaga sebuah tradisi unik bernama “Kawin Air.” Tradisi yang telah berlangsung lebih dari dua abad ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur atas melimpahnya sumber air yang menghidupi desa mereka.
Setiap tahun, ratusan warga berbondong-bondong menuju Bendungan Somorobangun di Desa Biting, Kecamatan Badegan, membawa nasi sebakul dan ingkung ayam untuk didoakan bersama. Setelah doa selesai, prosesi utama dimulai: air dari aliran Sungai Somorobangun diambil menggunakan kendil, lalu dibawa ke Desa Carangrejo untuk “dikawinkan” dengan air dari Sendang Beji.
Ritual sakral ini berakar dari legenda Mbah Doblang, sosok yang dipercaya menyeret tongkat dari Sungai Somorobangun hingga ke Carangrejo. Dari jejak seretan tongkat itu, muncul aliran air yang kemudian menghidupi warga dan menjadikan tanah di desa tersebut subur.
“Dulu warga sering kesulitan bertani. Sejak ada sumber air ini, hasil panen padi bisa sampai tiga kali setahun,” tutur Kamsun, Kepala Desa Carangrejo.
Menurut Mukhlis, seorang pengamat sejarah lokal, tradisi Kawin Air merupakan bentuk kearifan lokal yang mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dan alam. “Tradisi ini bukan hanya ritual, tapi juga simbol penghormatan pada alam sebagai sumber kehidupan. Sudah sepantasnya dilestarikan sebagai warisan budaya tak benda dari Ponorogo,” ujarnya.
Melalui ritual Kawin Air, warga Carangrejo tidak hanya merayakan keberkahan alam, tetapi juga menegaskan identitas dan kebersamaan yang telah diwariskan lintas generasi.

