KABUPATEN MADIUN – Cuaca yang tidak menentu dalam beberapa pekan terakhir membuat petani cabai di Kabupaten Madiun semakin resah. Perubahan musim yang cepat antara hujan dan panas ekstrem menyebabkan tanaman cabai layu, terserang hama, bahkan gagal berproduksi. Kondisi ini membuat hasil panen menurun hingga 50 persen, meski harga cabai di pasaran tengah berada pada level tinggi.
Memasuki musim penghujan, sejumlah wilayah di Kabupaten Madiun mengalami curah hujan yang cukup intens, namun dalam waktu singkat kembali berubah menjadi panas terik. Pergantian cuaca yang drastis ini membuat tanaman cabai tidak dapat beradaptasi dengan baik. Daun mudah layu, batang mengering, dan banyak tanaman yang berhenti berbuah sebelum waktunya.
Di lahan cabai milik Munirul Ikhwan, atau yang akrab disapa Iwan Momon, warga Desa Candimulyo, Kecamatan Dolopo, kondisi tersebut terlihat jelas. Banyak tanaman yang mati terkena fusarium atau penyakit layu yang menyerang akar dan batang. Penyakit ini membuat tanaman tidak mampu menyerap nutrisi, sehingga pertumbuhan buah terganggu dan tidak dapat dipanen.
Iwan menjelaskan bahwa sebagian lahannya kini dibiarkan begitu saja karena tanaman sudah tidak lagi produktif. Menurutnya, penyakit fusarium lebih cepat menyebar saat kelembapan tinggi akibat hujan berkepanjangan. Ketika hujan berhenti, panas yang tiba-tiba menyengat membuat kondisi tanaman semakin memburuk.
Selain penyakit layu, petani juga menghadapi serangan hama lalat buah. Hama ini menyebabkan buah cabai gagal matang dan membusuk. Telur lalat yang menetas di dalam buah membuat cabai rusak dari dalam, sehingga tidak bisa dijual. Dalam beberapa kasus, gagang cabai juga mengering sehingga buah rontok sebelum memasuki masa panen.
Untuk menangani hama tersebut, para petani sudah berupaya memasang jebakan lalat menggunakan botol berlapis lem dan penyemprotan pestisida. Namun, hasilnya belum efektif karena populasi lalat buah meningkat seiring perubahan cuaca yang ekstrem.
Padahal, harga cabai saat ini berada pada kisaran Rp40.000 hingga Rp43.000 per kilogram—angka yang sebenarnya menguntungkan bagi petani. Namun tingginya harga tidak berdampak besar terhadap pendapatan mereka, karena produksi justru turun drastis akibat kombinasi cuaca buruk dan serangan hama yang sulit dikendalikan.
Petani berharap pemerintah daerah dapat memberikan pendampingan lebih intensif, terutama terkait pengendalian hama dan penyakit yang makin sering muncul saat musim pancaroba. Selain itu, ketersediaan pestisida serta edukasi penanganan dini hama tanaman juga dinilai penting untuk mencegah kerugian lebih besar pada musim tanam berikutnya.

