NGAWI — Pemerintah Kabupaten Ngawi memberikan perhatian serius terhadap sejumlah kendala yang selama ini dihadapi relawan dan petugas puskesmas dalam menangani Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Wakil Bupati Ngawi, Dwi Rianto Jatmiko, menegaskan perlunya perlakuan khusus dan skema layanan yang lebih fleksibel agar penanganan pasien ODGJ dapat berjalan optimal.
Sejumlah kendala di lapangan membuat pendampingan terhadap pasien ODGJ tidak selalu berjalan mulus. Salah satu yang menjadi sorotan ialah kewajiban fingerprint atau absensi sidik jari bagi pasien saat pengambilan obat, mengingat mayoritas penderita ODGJ merupakan peserta BPJS. Kondisi ini kerap menyulitkan relawan dan petugas puskesmas, terutama ketika pasien sedang kambuh atau tidak memungkinkan untuk hadir langsung.
Wakil Bupati Ngawi menilai bahwa dalam konteks penanganan ODGJ, aturan tersebut perlu mendapatkan pengecualian khusus. Ia mencontohkan program Posyandu ODGJ yang idealnya memiliki skema tersendiri, termasuk kelonggaran dalam layanan pengobatan serta mekanisme pengambilan obat yang dapat diwakilkan oleh keluarga atau relawan.
Pemkab Ngawi, lanjutnya, mendorong adanya regulasi turunan berupa Surat Keputusan (SK) Bupati yang dapat menjadi dasar hukum dalam memberikan kemudahan akses layanan kesehatan bagi pasien ODGJ. Wabup menambahkan, pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan untuk menyiapkan aturan teknis layanan khusus tersebut.
Dengan adanya regulasi baru, diharapkan berbagai kasus urgen — mulai dari keterbatasan jarak hingga kondisi pasien yang sedang kambuh — dapat tetap ditangani tanpa harus memaksakan kehadiran pasien ke fasilitas kesehatan.
Sebagaimana diketahui, sistem absensi sidik jari dalam pengambilan obat BPJS selama ini menjadi hambatan tersendiri bagi relawan, terutama ketika pasien tidak stabil dan membutuhkan obat segera. Pemkab menilai perubahan skema layanan merupakan langkah penting agar penanganan ODGJ dapat lebih manusiawi dan efektif.

